Langsung ke konten utama

Lampor Sindoro ???


sigandulk
Prologue

Beberapa hari yang lalu pukul 23 malam saya melintas melalui jalur Parakan (Temanggung) - Kertek (Wonosobo) via Kledung. Jalur tersebut selain terkenal sebagai jalur maut karena seringnya kendaraan lepas kendali akibat turunan panjang, juga dikenal sebagai jalur yang sangat indah sekaligus angker, diantara dua buah gunung yaitu Sindoro dan Sumbing. Tepat lepas dari desa Paponan, saya mendengar suara yang makin lama makin keras. Suara tersebut adalah suara semacam kuda lumping. Sementara saya tidak melihat setitikpun cahaya dari arah suara itu berbunyi. Makin lama makin jelas dan saya pas sendirian. Sebagai orang logis saya berusaha mencari alasan, dari mana asal getaran suara yang menimbulkan suara indah mendayu itu. Tidak saya temukan saya pun berusaha tetap mengendarai motor dengan tenang. Suara keras itu masih terdengar hingga jalur jembatan Sigandul, sebuah jembatan maut yang terletak di dasar turunan dan dilanjutkan dengan jalan menanjak dan berbelok 180 derajat. 

Daerah itu memang terkenal sebagai daerah maut. Telah banyak korban kecelakaan lalu lintas di sana. Tapi kali ini saya memang mengatakan dalam hati sendiri, bahwa memang pasti ada desa yang sedang nanggap gamelan, namun saya tidak mendengarnya. Kasus yang ini pun di tutup.
Ingatan saya kembali pada 14 Maret 1998. Saat saya pernah melakukan pemanduan pendakian teman-teman dari Semarang, Jogja dan Magelang sebanyak 16 orang. Kami berangkat dari Jogja langsung ke Kledung, basecamp Sindoro. Di sana telah menunggu beberapa orang rekan termasuk ada beberapa rekan wanita disana. Pendakian saat itu dinilai tidak begitu berprospek enak dan baik mengingat masih ada di musim hujan yang lumayan membuat becek. Jam 10 pendakian dimulai, tidak banyak masalah selama pendakian. Kami pun sampai puncak menjelang matahari terbit. Sambil memasak air, mie, kopi dan roti, kami foto-foto. 
Jam 6.45 teman-teman meminta saya untuk memandu turun melalui jalur barat. Saya pun menolak. Namun karena paksaan teman-teman, akhirnya saya pun mengikuti permintaan mereka. Hanya 3 orang yang kembali ke jalur semula, karena rumah mereka ada di Temanggung. Kami pun mulai menelusur jalur barat yang saat itu berserakan kena lumpur dan pohon tumbang. Hasilnya: KAMI TERSESAT. Kira-kira pukul 12.00 kami dapat masalah tambahan. Hujan Es. Dengan masalah seperti itu dan kondisi tersesat, maka kami memutuskan tidak lagi mencari jalan balik, namun terus ke bawah membabat hutan yang ada. Masalahpun makin sempurna saat seorang teman wanita pingsan di tengah hujan es. Dengan berbagai macam cara dia akhirnya sadar, dan kita motivasi turun ke bawah. Kami menempatkan 2 teman di depan untuk pemantau awal, 4 di belakangnya untuk membuka jalan, dan yang lainnya mengikuti, serta ada 2 di belakang yang berbadan besar sebagai sweeper. Singkat cerita kami sampai bawah jam 21.00 di desa yang bukan merupakan desa pendakian. Gemparlah penduduk desa. Posisi squad: 2 teman pemantau, hilang, tapi kami yakini dia sampai di sebuah desa dengan selamat. 11 orang bersama saya masuk desa Banaran / Kuripan, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Selanjutnya saya mencari mikrobus untuk mengangkut teman-teman hingga Magelang. Saya sendiri memilih tinggal di sana semalam di rumah kepala dusun. Pak kepala dusun itu memiliki anak laki-laki yang kuliah di Akademi Keperawatan. Kami ngobrol sampai malam hingga tertidur.
Sekitar jam 2.00 saya dibangunkan dan ditanya : "Mas yang turun tadi orang berapa?". Saya pun jawab apa adanya, dan dilanjutkan dengan persilakan tidur kembali. Subuh, saya dibangunkan kembali dan diminta sholat subuh. Setelah sholat subuh, saya dipanggil pak Kadus kembali. Dia bertanya : "Mas, apa benar cuma 13 orang kemarin yang turun". Saya jawab:"Ya pak". Pak Kadus melanjutkan cerita : "Semalam njenengan dibangunkan itu karena ternyata dari atas ada yang turun juga mas, mereka bawa obor, jumlahnya ratusan. Kami dengar ada suara menangis, mereka menuju desa ini. Hutan itu namanya hutan Kali Tengah. Kami takut kalau mereka mencari njenengan, karena pasti njenengan-njenengan secara tidak sengaja membabat hutan tempat tinggalnya. Coba nanti njenengan keluar sebentar menengok arah gunung"
Saya merinding, karena pendaki tidak membawa obor, tapi senter. Sementara terang pagi mulai sedikit terlihat, cahaya obor sudah mulai meredup, namun asapnya tetap terlihat. Lantas itu siapa? Tanpa ba bi bu, saya pun memilih pamit dari desa itu, ikut sebuah Colt pengangkut sayur, menuju terminal Wonosobo. Saya tidak pulang kampung kelahiran, tetapi langsung menuju Jogja. Dua bulan lamanya saya di Jogja tak pulang, karena sedikit ketakutan dengan hal itu. 
Orang Jawa bilang, itu adalah Lampor, atau orang bunian (bahasa melayu) yang artinya adalah orang yang tidak tampak. Percaya tidak percaya? Silakan..










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelamun Tak Pernah Secengeng Yang Kau Kira

  Kunyanyikan beberapa potong lagu, selang-seling irama bahagia dan irama sendu. Tiba-tiba datang dirimu, yang berkata : " Hai kau, ada apa dengan dirimu, melamun diri di bawah awan kelabu? ". Sambil tersenyum geli, kulanjut laguku. Tapi kau terus memburu. " Ada apa dirimu? Apakah dalam tekanan kalbu? Atau kau dilanda rindu? Ceritakan padaku! Aku perlu tahu.. Jangan sampai nanti kau terlambat sesali dirimu " Aku coba berganti irama. Irama riang irama bahagia. Tetapi otakmu terlalu dalam berkelana. Sehingga asumsimu sesat karenanya. Ah, aku peduli apa?  Hai.. Terima kasih pedulimu. Aku tak sedang berduka. Aku tak sedang merindu. Aku tak sedang seperti apa yang ada di benakmu. Aku berdendang bernyanyi, menghibur diri. Aku bukan siapapun. Tak usah kau kulik apa yang ada di dalam diriku. Aku bukan siapapun. Aku bukan sedang menyanyikan kecengengan. Aku bukan apa yang terjadi pada diriku. Aku adalah apa yang terjadi yang kupilih. Kenangan Ramadan 2023...

Simpanan Gambar, dan Pesan Untuk Masa Depan

Gambar ini saya ambi di bulan Juli 2018, di pesawahan jalan Kronggahan, Sleman, DIY. Tepatnya di seberang kantor Stasiun Pemantauan Cuaca BMKG. Saya membatin, apakah 10 tahun ke depan pemandangan senja ini bisa didapatkan generasi setelah saya? Tak butuh 10 tahun. Pemerintah lebih suka melebarkan jalan, mengalahkan sebagian sawah, agar dapat membuang arus lalu lintas yang padat daerah Denggung. Namun tetap saja, Denggung macet, jalan Kronggahan juga macet. Sawah kalah, dibanguni kafe dan perumahan/pemukiman yang mulai ada. Tidak hanya tempat ini tentunya. Banyak tempat lain yang bakal hilang.  Kelak saya akan post lagi kisah seperti ini. Agar anak cucu tahu, dulu mudah sekali dapat tempat dan pemandangan semewah ini. Atau entah mungkin anak cucu lebih suka pemandangan kemacetan atau hingar bingar...

Selamat Jalan, Keluarga Depan Rumah....

Covid-19 benar-benar luar biasa. Tak pernah saya sangka, kita masuk dalam generasi yang harus ketemu dengan wabah super ini. Korbannya tak tanggung-tanggung. Hari ini, kasus Indonesia ada 36 ribu lebih kasus harian. Angka kesembuhan harian baru di angka 32 ribu, masih tomboh 4 ribuan yang kecatat. Rumah sakit terpantau penuh di pulau Jawa. Sering terdengar suara pengumuman meninggal lewat pengumuman masjid..  Sosial media dipenuhi kata "Innalillahi", "RIP", "Permohonan darah konvalesen", "Permohonan tabung oksigen", "Permohonan info rumah sakit".  Hingga pada akhirnya, beberapa orang dalam lingkaran yang kita kenal dekat, yang kita harapkan kehidupannya, mereka akhirnya meninggal. Kita tidak dapat melayat, tidak dapat ditunggui juga, karena dicegah dengan protokol kesehatan. Mereka syahid. Kita makin nggrantes lagi dengan wafatnya para nakes. Andalan kita.  Hari ini, saya mendapatkan kabar duka cita dari kerabat di Wonosobo. Yaitu kelua