Langsung ke konten utama

Perusak Pikiran Itu Bernama Sekolah!

Beberapa waktu lalu saya sempat melakukan post di sebuah jejaring sosial media, tentang kondisi pelajaran anak saya yang masih TK, yang harus dijejali dengan pelajaran yang terhitung sebelum usianya. Saat itu anak saya sedang belajar Jarimatika.


Anak TK seumur menjelang 6 tahun, belum memahami hakekat angka dan sudah dipaksa mempelajari rumus praktis produk para opportunities. Bukan anak saya tidak bisa. Dia bisa. Bahkan konon kata gurunya, anak saya termasuk cukup cepat menangkap. 


Bukan itu!. Jaman saya sekolah TK dulu, bahkan tidak ada sekolah TK membawa buku. Belum saatnya. Dibiarkanlah kami belajar interaksi dengan teman, melewati berkelahi, belajar menyelesaikan masalah sendiri, bergotong royong, dan dikenalkan pada kami permainan huruf dan angka untuk memancing kesukaan terhadap angka dan huruf.

Teman-teman anak saya sekarang, umur sekian sudah harus melewati LES TAMBAHAN pada gurunya, dengan alasan untuk mempermudah penguasaan materi ketika masuk SD. Bisa dibayangkan betapa anak TK jaman sekarang bisa jadi tidak bisa tidur siang karena pasca sekolah mereka masih harus mengikuti LES tambahan di tempat gurunya. Mengapa perlu les tambahan? Karena guru SD jaman sekarang sudah tidak mau repot. Kelas 1 SD harus telah bisa mengenal huruf, angka, menggambar, mewarnai. Pendidikan macam apa ini???

Sekolah di masa ini, adalah ajang memperbandingkan anak dengan STANDARD PICIK para guru dan penyelenggara pendidikan. Kompetisi, adu pintar, adu cepat, yang pada akhirnya berujung pada individualis anak, dan kesalahan format berpikir anak yang cenderung opportunities yang mempertimbangkan mangkus dan sangkilnya usaha (effort efficiency and effectivity). Artinya kelak kecenderungan individu mengarah ke sekedar motif ekonomi juga lebih besar. Belum lagi lebih runyam kondisi sekolah yang menjadi saluran produk buku pelajaran, produk program belajar tertentu seperti sempoa dan jarimatika yang belum saatnya, dan biaya masuk sekolah yang tidak kecil jumlahnya. 

Jika memang seperti ini, ya akhirnya saya protes. Entah apakah kelak saya harus percaya pada pola belajar alternatif? Apakah saya berlebihan? Tidak.. Lihatlah cuplikan gambar dan naskah di bawah ini.. Seorang Einstein saja protes akan pendidikan yang dilewatinya, hingga dia tidak lagi percaya Tuhan yang ada dalam kitabnya, namun yang berhasil dia temukan dengan akalnya.




School failed me, and I failed the school. It bored me. The teachers behaved like Feldwebel (sergeants).

I wanted to learn what I wanted to know, but they wanted me to learn for the exam.

What I hated most was the competitive system there, and especially sports.

Because of this, I wasn't worth anything, and several times they suggested I leave.

This was a Catholic School in Munich. I felt that my thirst for knowledge was being strangled by my teachers; grades were their only measurement. How can a teacher understand youth with such a system? . . .

from the age of twelve I began to suspect authority and distrust teachers.

I learned mostly at home, first from my uncle and then from a student who came to eat with us once a week.

He would give me books on physics and astronomy.

The more I read, the more puzzled I was by the order of the universe and the disorder of the human mind, by the scientists who didn't agree on the how, the when, or the why of creation.

Then one day this student brought me Kant's Critique of Pure Reason. Reading Kant, I began to suspect everything I was taught.

I no longer believed in the known God of the Bible, but rather in the mysterious God expressed in nature.

Terjemahan kira-kira seperti berikut:

Sekolah gagal mengajar saya, dan saya gagal dalam sekolah. Itu membuatku bosan. Para guru berperilaku seperti Feldwebel (sersan).

Saya ingin belajar apa yang saya ingin tahu, tapi mereka menginginkan saya untuk belajar untuk ujian.

 Apa yang paling kubenci adalah sistim kompetitif di sana, terutama olahraga.

Di sana saya tidak berarti apa-apa, dan beberapa kali mereka menyarankan saya pergi. Ini adalah Sekolah Katolik di Munich.

 Saya merasa bahwa kehausan akan pengetahuan dicekik oleh guru saya, mereka menerapkan standard sendiri.

Bagaimana guru dapat memahami remaja dengan sistem seperti itu? Dari usia dua belas tahun saya mulai curiga otoritas dan ketidakpercayaan guru.

Kebanyakan saya belajar di rumah, pertama dari paman saya dan kemudian dari seorang mahasiswa yang datang untuk makan dengan kami seminggu sekali.

Dia akan memberi saya buku-buku tentang fisika dan astronomi.

 Semakin banyak saya membaca, semakin saya bingung dengan urutan alam semesta dan gangguan dari pikiran manusia, oleh para ilmuwan yang tidak setuju tentang bagaimana, kapan, atau mengapa ada penciptaan.

Kemudian suatu hari mahasiswa ini membawa Kritik saya ke Kant of Pure Reason.

Membaca Kant, aku mulai curiga semua yang saya diajarkan. Saya tidak lagi percaya pada Allah yang dikenal dalam Alkitab, melainkan pada Allah yang misterius yang ada di alam raya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelamun Tak Pernah Secengeng Yang Kau Kira

  Kunyanyikan beberapa potong lagu, selang-seling irama bahagia dan irama sendu. Tiba-tiba datang dirimu, yang berkata : " Hai kau, ada apa dengan dirimu, melamun diri di bawah awan kelabu? ". Sambil tersenyum geli, kulanjut laguku. Tapi kau terus memburu. " Ada apa dirimu? Apakah dalam tekanan kalbu? Atau kau dilanda rindu? Ceritakan padaku! Aku perlu tahu.. Jangan sampai nanti kau terlambat sesali dirimu " Aku coba berganti irama. Irama riang irama bahagia. Tetapi otakmu terlalu dalam berkelana. Sehingga asumsimu sesat karenanya. Ah, aku peduli apa?  Hai.. Terima kasih pedulimu. Aku tak sedang berduka. Aku tak sedang merindu. Aku tak sedang seperti apa yang ada di benakmu. Aku berdendang bernyanyi, menghibur diri. Aku bukan siapapun. Tak usah kau kulik apa yang ada di dalam diriku. Aku bukan siapapun. Aku bukan sedang menyanyikan kecengengan. Aku bukan apa yang terjadi pada diriku. Aku adalah apa yang terjadi yang kupilih. Kenangan Ramadan 2023...

Simpanan Gambar, dan Pesan Untuk Masa Depan

Gambar ini saya ambi di bulan Juli 2018, di pesawahan jalan Kronggahan, Sleman, DIY. Tepatnya di seberang kantor Stasiun Pemantauan Cuaca BMKG. Saya membatin, apakah 10 tahun ke depan pemandangan senja ini bisa didapatkan generasi setelah saya? Tak butuh 10 tahun. Pemerintah lebih suka melebarkan jalan, mengalahkan sebagian sawah, agar dapat membuang arus lalu lintas yang padat daerah Denggung. Namun tetap saja, Denggung macet, jalan Kronggahan juga macet. Sawah kalah, dibanguni kafe dan perumahan/pemukiman yang mulai ada. Tidak hanya tempat ini tentunya. Banyak tempat lain yang bakal hilang.  Kelak saya akan post lagi kisah seperti ini. Agar anak cucu tahu, dulu mudah sekali dapat tempat dan pemandangan semewah ini. Atau entah mungkin anak cucu lebih suka pemandangan kemacetan atau hingar bingar...

Selamat Jalan, Keluarga Depan Rumah....

Covid-19 benar-benar luar biasa. Tak pernah saya sangka, kita masuk dalam generasi yang harus ketemu dengan wabah super ini. Korbannya tak tanggung-tanggung. Hari ini, kasus Indonesia ada 36 ribu lebih kasus harian. Angka kesembuhan harian baru di angka 32 ribu, masih tomboh 4 ribuan yang kecatat. Rumah sakit terpantau penuh di pulau Jawa. Sering terdengar suara pengumuman meninggal lewat pengumuman masjid..  Sosial media dipenuhi kata "Innalillahi", "RIP", "Permohonan darah konvalesen", "Permohonan tabung oksigen", "Permohonan info rumah sakit".  Hingga pada akhirnya, beberapa orang dalam lingkaran yang kita kenal dekat, yang kita harapkan kehidupannya, mereka akhirnya meninggal. Kita tidak dapat melayat, tidak dapat ditunggui juga, karena dicegah dengan protokol kesehatan. Mereka syahid. Kita makin nggrantes lagi dengan wafatnya para nakes. Andalan kita.  Hari ini, saya mendapatkan kabar duka cita dari kerabat di Wonosobo. Yaitu kelua